Rabu, 02 Maret 2011

Pemerintah Mantap Berencana, Tumpul Implementasi

Senin, 18/10/2010
Setahun SBY-Boediono (2)
sumber: Wahyu Daniel - detikNews


Jakarta - Jika diibaratkan tim sepakbola, mungkin tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II) penuh dengan strategi yang cemerlang. Namun penyelesaian akhirnya kurang mengesankan.

Memang harus diakui, Indonesia merupakan satu dari 3 negara di dunia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di tengah krisis ekonomi dunia yang sangat dahsyat di 2008/2009.

Di belakang China dan India, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia positif. Karena memang ekonomi kita, terutama sektor keuangan, tak banyak terintegrasi dengan dunia luar.

Di tengah badai krisis ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 berhasil mencapai 4,5%. Di 2010 pemerintah makin pede dengan mematok target 5,8%. Bahkan Presiden SBY yakin bisa menyentuh 6%.

Namun yang mesti dilihat adalah dampak dari pertumbuhan tersebut. Pemerintah masih mengandalkan konsumsi masyarakat dalam memicu pertumbuhan, sementara sektor industri belum tumbuh pesat karena masalah infrastruktur yang masih carut marut.

Di awal KIB II, tim ekonomi sudah menggenjot berbagai program ekonomi. Bahkan mengajak para pemangku kepentingan untuk menggodok program ekonomi lewat ajang 'National Summit'.

Pada perhelatan tersebut, pemerintah mengajak para stakeholder ekonomi untuk mengutarakan berbagai usulannya. Ternyata dari pertemuan tersebut, sektor infrastruktur jadi bahasan nomor satu. Lalu sektor industri dan jasa, tenaga kerja, energi, dan pangan.

Berbagai media pun ramai membicarakan soal berbagai rencana ekonomi dalam program 100 hari. Tim ekonomi yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa terus menggenjot timnya lewat rapat koordinasi yang hampir tiap hari dilakukan pada pukul 07.00 pagi. Hatta bahkan pernah mengatakan, para menteri baru boleh cuti setelah setahun bekerja.

Namun untuk infrastruktur, sampai sekarang masih jadi keluhan investor dan pengusaha. Ini jadi salah satu penyebab 'high cost economy' alias ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Belum lagi baru-baru ini, Jalan RE Martadinata yang ambles bikin importir dan eksportir tambah pusing. Sebab jalan itu jadi salah satu akses ke Pelabuhan Tanjung Priok.

Belum lagi di Pelabuhan Merak Banten, masih terlihat antrean panjang truk-truk pengangkut barang menuju Sumatera. Sungguh memprihatinkan, dan betapa mahalnya ongkos ekonomi bagi industri di Indonesia.

Demikian juga di sektor energi. Produksi minyak kita segitu-segitu saja dan masih mengandalkan sumur-sumur tua. Masalah ini masih belum ditemukan solusinya.

Lalu soal BBM yang subsidinya terus-terusan naik. Pemerintah mencari jalan untuk mengurangi konsumsi BBM lewat pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, namun tak berani tegas dan terkesan tarik ulur. Dari rencana awal di akhir 2010 menjadi di awal 2011.

Pemerintah sebenarnya sudah punya strategi untuk membuka sumbatan-sumbatan ekonomi tadi. Namun implementasinya kurang gahar dan lambat. Penyelesaian akhir tak cepat dilakukan.

Mungkin di level teknisnya yang lambat menyerap tugas dan arahan yang sudah dikemas sedemikian rupa. Ataukah arahan yang diberikan masih belum bisa diimplementasikan.

Sementara itu, soal kemiskinan, Presiden SBY boleh saja membanggakan di forum-forum internasional jika tingkat kemiskinan di Indonesia turun dari 16,7% di 2004 menjadi 13,3% di Maret 2010. Namun apaka kenyataannya seperti itu? Kita bisa menjawab sendiri berdasarkan penglihatan sehari-hari.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Politik Jeffrey Winters mengatakan, dalam setahun ini pasca krisis ekonomi global, perekonomian Indonesia menjadi sasaran dari uang-uang panas. "Indonesia harus waspada terhadap investasi DCCP ini (datang cepat, cepat pergi), malah pemerintah sepertinya membanggakan uang tersebut tertarik dengan pasar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)," kata Winters kepada detik.com.

Harusnya pemerintah berhati-hati dengan aliran uang-uang panas ini. Karena pertama, tidak menambah jumlah investasi modal di sektor riil. Kedua, justru pulangnya uang seperti ini yang membuat krisis finansial 1997-1998 ganti status dari hujan biasa menjadi badai luar biasa.

"Saya melihat, Indonesia saat ini masuk ke dalam situasi yang bahaya dan pemerintah SBY serba senyum dan bahagia. Bentuk selalu kalahkan isi, sejak SBY naik menjadi presiden," ucapnya.

Pemerintah terus gembar-gemborkan pembangunan infrastruktur, meski akhirnya tak bisa secepat yang dibayangkan. Rusaknya infrastrutktur inilah yang menjadi faktor kenapa investasi di Indonesia sulit meningkat.
(dnl/diks)


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!
Jakarta - Jika diibaratkan tim sepakbola, mungkin tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II) penuh dengan strategi yang cemerlang. Namun penyelesaian akhirnya kurang mengesankan.

Memang harus diakui, Indonesia merupakan satu dari 3 negara di dunia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di tengah krisis ekonomi dunia yang sangat dahsyat di 2008/2009.

Di belakang China dan India, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia positif. Karena memang ekonomi kita, terutama sektor keuangan, tak banyak terintegrasi dengan dunia luar.

Di tengah badai krisis ekonomi dunia, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 berhasil mencapai 4,5%. Di 2010 pemerintah makin pede dengan mematok target 5,8%. Bahkan Presiden SBY yakin bisa menyentuh 6%.

Namun yang mesti dilihat adalah dampak dari pertumbuhan tersebut. Pemerintah masih mengandalkan konsumsi masyarakat dalam memicu pertumbuhan, sementara sektor industri belum tumbuh pesat karena masalah infrastruktur yang masih carut marut.

Di awal KIB II, tim ekonomi sudah menggenjot berbagai program ekonomi. Bahkan mengajak para pemangku kepentingan untuk menggodok program ekonomi lewat ajang 'National Summit'.

Pada perhelatan tersebut, pemerintah mengajak para stakeholder ekonomi untuk mengutarakan berbagai usulannya. Ternyata dari pertemuan tersebut, sektor infrastruktur jadi bahasan nomor satu. Lalu sektor industri dan jasa, tenaga kerja, energi, dan pangan.

Berbagai media pun ramai membicarakan soal berbagai rencana ekonomi dalam program 100 hari. Tim ekonomi yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa terus menggenjot timnya lewat rapat koordinasi yang hampir tiap hari dilakukan pada pukul 07.00 pagi. Hatta bahkan pernah mengatakan, para menteri baru boleh cuti setelah setahun bekerja.

Namun untuk infrastruktur, sampai sekarang masih jadi keluhan investor dan pengusaha. Ini jadi salah satu penyebab 'high cost economy' alias ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Belum lagi baru-baru ini, Jalan RE Martadinata yang ambles bikin importir dan eksportir tambah pusing. Sebab jalan itu jadi salah satu akses ke Pelabuhan Tanjung Priok.

Belum lagi di Pelabuhan Merak Banten, masih terlihat antrean panjang truk-truk pengangkut barang menuju Sumatera. Sungguh memprihatinkan, dan betapa mahalnya ongkos ekonomi bagi industri di Indonesia.

Demikian juga di sektor energi. Produksi minyak kita segitu-segitu saja dan masih mengandalkan sumur-sumur tua. Masalah ini masih belum ditemukan solusinya.

Lalu soal BBM yang subsidinya terus-terusan naik. Pemerintah mencari jalan untuk mengurangi konsumsi BBM lewat pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, namun tak berani tegas dan terkesan tarik ulur. Dari rencana awal di akhir 2010 menjadi di awal 2011.

Pemerintah sebenarnya sudah punya strategi untuk membuka sumbatan-sumbatan ekonomi tadi. Namun implementasinya kurang gahar dan lambat. Penyelesaian akhir tak cepat dilakukan.

Mungkin di level teknisnya yang lambat menyerap tugas dan arahan yang sudah dikemas sedemikian rupa. Ataukah arahan yang diberikan masih belum bisa diimplementasikan.

Sementara itu, soal kemiskinan, Presiden SBY boleh saja membanggakan di forum-forum internasional jika tingkat kemiskinan di Indonesia turun dari 16,7% di 2004 menjadi 13,3% di Maret 2010. Namun apaka kenyataannya seperti itu? Kita bisa menjawab sendiri berdasarkan penglihatan sehari-hari.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Politik Jeffrey Winters mengatakan, dalam setahun ini pasca krisis ekonomi global, perekonomian Indonesia menjadi sasaran dari uang-uang panas. "Indonesia harus waspada terhadap investasi DCCP ini (datang cepat, cepat pergi), malah pemerintah sepertinya membanggakan uang tersebut tertarik dengan pasar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)," kata Winters kepada detik.com.

Harusnya pemerintah berhati-hati dengan aliran uang-uang panas ini. Karena pertama, tidak menambah jumlah investasi modal di sektor riil. Kedua, justru pulangnya uang seperti ini yang membuat krisis finansial 1997-1998 ganti status dari hujan biasa menjadi badai luar biasa.

"Saya melihat, Indonesia saat ini masuk ke dalam situasi yang bahaya dan pemerintah SBY serba senyum dan bahagia. Bentuk selalu kalahkan isi, sejak SBY naik menjadi presiden," ucapnya.

Pemerintah terus gembar-gemborkan pembangunan infrastruktur, meski akhirnya tak bisa secepat yang dibayangkan. Rusaknya infrastrutktur inilah yang menjadi faktor kenapa investasi di Indonesia sulit meningkat.
(dnl/diks)


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!