Sabtu, 21 April 2012

RENCANA KENAIKAN BBM DARI SEGI EKONOMI (untung atau rugi?)

Rencana pemerintah menaikkan harga BBM pada awal April mendatang ramai menghiasi ruang publik akhir-akhir ini. Terlepas jadi atau tidaknya kebijakan ini, tentu akan lebih baik jika kita sudah mempersiapkan dampaknya. Tanpa antisipasi dan pengendalian yang baik, kenaikan harga BBM bukan hanya akan berdampak pada aspek ekonomi, namun juga dapat merembet ke aspek sosial dan politik.
Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 mengingatkan kita pada kenaikan BBM yang terjadi pada Maret 2005 dan Mei 2008 dengan besaran yang kurang lebih sama yaitu sekitar ± 30 persen. Dampak kebijakan kenaikan BBM terasa lebih besar pada 2008 karena dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas global yang berkorelasi positif dengan kenaikan biaya produksi.
Rencana kenaikan BBM tahun 2012 juga bukannya tanpa tantangan. Rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), kenaikan harga komoditas global, pembatasan impor hortikultura menjadi faktor-faktor potensial yang dapat semakin mengerek angka inflasi. Karenanya, kita musti lebih bersiap-siap untuk mengantisipasi kenaikan BBM tahun ini dengan mengelola hal-hal yang dapat dikontrol sehingga dampak kenaikan BBM dapat ditekan serendah mungkin.
EKSPEKTASI MASYARAKAT
Kenaikan harga BBM sejatinya berpengaruh pada keranjang IHK untuk kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan, khususnya sub kelompok transportasi. Secara natural, rencana kenaikan harga BBM sebesar 33,3 persen sebenarnya tidak terlalu berpengaruh besar terhadap pembentukan angka inflasi secara keseluruhan. Namun kuatnya hubungan BBM dengan komoditas lain dan ekspektasi inflasi masyarakat membuat pengaruh kenaikan BBM terhadap pembentukan angka inflasi menjadi sangat besar.
Ekspektasi inflasi oleh Dornbusch dijelaskan sebagai perkiraan rasional mengenai masa depan dengan menggunakan semua informasi yang ada. Masyarakat berasumsi adanya kenaikan harga BBM akan diikuti oleh kenaikan harga barang-barang lain. Sebagai langkah antisipasi, masyarakat melakukan belanja besar-besaran (panic buying), selagi harga belum naik. Langkah antisipasi ini selintas memang nampak rasional. Namun jika dilihat secara lebih makro, langkah antisipasi ini justru menciptakan kenaikan permintaan yang cukup tinggi padahal sisi penawaran tidak mengalami perubahan. Akibatnya, harga naik. Padahal jika saja masyarakat tetap berlaku normal dan tidak melakukan panic buying, kenaikan harga tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi.
Pada konteks ini, peran pemerintah dan media massa menjadi sangat penting. Pemerintah perlu melalui media massa perlu melakukan edukasi kepada masyarakat agar tidak melakukan panic buying. Bahwa sesungguhnya yang mengalami kenaikan harga hanya BBM saja, bukan semua barang kebutuhan masyarakat. Bahwa persediaan barang kebutuhan masyarakat juga dalam keadaan cukup.
Pernyataan pemerintah ini juga harus diiringi dengan penyediaan barang kebutuhan masyarakat yang memadai. Hal ini dapat dimulai dari persediaan BBM itu sendiri. Pemerintah dapat meminta Pertamina untuk menjamin kebutuhan masyarakat menjelang dan setelah kenaikan BBM dalam keadaan cukup. Kecukupan pasokan ini penting untuk menjaga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap stabilitas persediaan BBM. Selain BBM, pemerintah melalui dinas teknis terkait juga harus memastikan bahwa persediaan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dalam keadaan cukup.
Media massa selain sebagai jalur edukasi, media juga punya peran istimewa. Dalam dunia jurnalisme modern, khususnya di era reformasi, media massa mempunyai keleluasaan untuk membentuk frame sesuai dengan ide dan kepentingan media itu sendiri. Dalam konteks kenaikan harga BBM, media dapat membentuk opini publik yang mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat. Opini masyarakat dapat diarahkan untuk tidak melakukan panic buying yang dapat menimbulkan kenaikan harga secara agregat.
Pada akhirnya, sinergi pemerintah dan media massa menjadi sangat penting mengingat masyarakat terkadang membuat asumsi sendiri karena adanya informasi yang asimetrik. Adanya informasi resmi dan berimbang yang disampaikan oleh otoritas berwenang—dalam hal ini pemerintah—membantu masyarakat memperoleh informasi yang pasti sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat. Pengelolaan ekspektasi inflasi masyarakat yang baik akan berpengaruh positif pada pengendalian dampak kenaikan harga BBM.
PENIMBUNAN
Sepeti tertulis dalam hukum ekonomi, manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Momentum kenaikan BBM bagi sebagian kalangan juga dapat dijadikan kesempatan untuk mengail keuntungan sebesar-besarnya. Menjelang kenaikan BBM, biasanya ada saja orang yang memborong BBM dan barang kebutuhan pokok dalam jumlah besar untuk disimpan sampai dengan terjadinya kenaikan harga. Sesaat, sang pelaku sepertinya memang mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Padahal perilaku seperti ini akan mengerek harga barang secara lebih luas. Dampak kenaikan harga ini jelas merugikan masyarakat yang pada akhirnya juga berpengaruh pada pelaku penimbun itu sendiri.
Perilaku penimbunan jelas merugikan. Oleh karena itu, perilaku ini harus diantisipasi bersama-sama. Ujung tombak upaya ini adalah penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Polisi melakukan identifikasi lokasi dan pelaku penimbunan untuk kemudian melakukan tindakan hukum. Apabila upaya ini dapat dilakukan secara efektif, potensi penimbunan dapat direduksi sehingga dampak kenaikan harga BBM dapat relatif terkendali.
OPERASI PASAR DAN KOORDINASI
Dalam hal diperlukan, pemerintah juga dapat mengambil inisiatif dengan melakukan operasi pasar untuk barang-barang kebutuhan pokok. Secara share, operasi pasar memang tidak besar. Namun operasi pasar adalah bentuk kepedulian pemerintah terhadap pergerakan harga yang terjadi di tengah masyarakat. Operasi pasar adalah wujud nyata dari kepedulian pemerintah untuk membantu masyarakat memenuhi barang kebutuhan pokok dengan harga terjangkau.
Dampak operasi pasar, baik secara langsung maupun tidak, cukup positif terhadap pengendalian harga. Secara psikologis, masyarakat merasa bahwa pemerintah peduli akan pergerakan harga. Ketika harga naik, pemerintah akan turun tangan. Pada jangka panjang hal ini akan berkontribusi positif pada pembentukan ekspektasi inflasi masyarakat terhadap pengendalian harga. Di sisi pedagang, kepedulian pemerintah akan membuat mereka berpikir dua kali untuk memainkan harga dengan tidak wajar.
Upaya lain yang lebih normatif dapat dilakukan dengan menggandeng para pelaku usaha besar sebagai mitra dalam pengendalian dampak kenaikan harga BBM. Para pelaku usaha diharapkan dapat tetap mempertahankan harga agar tetap pada level yang stabil. Kenaikan harga barang sedapat mungkin dilokalisir hanya sebatas pada barang-barang yang memang berhubungan kuat dengan BBM. Kombinasi upaya-upaya tersebut, jika dilakukan dengan efektif dan terkoordinasi, akan dapat mengurangi dampak buruk akibat kenaikan harga BBM.

NAMA : Lestari Dwi Jayanti
NPM : 24210004
KELAS : 2 EB 19

http://nuryazidi.wordpress.com/2012/03/19/bersiap-menghadapi-kenaikan-harga-bbm/

SEJARAH HUKUM DI INDONESIA

PENDAHULUAN :
Di sini kita perlu mengetahui dan mempelajari tentang sejarah hukum di Indonesia. Supaya kita dapat menerapkan secara baik dan benar dalam menjalankan hukum yang berlaku di Negara kita ini. Agar Negara kita damai dan tentram dalam kehidupan menjalankan yang berlangsung. Mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi kita semua.

PERMASALAHAN :
1. Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.
b. Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
a) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan;
b) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi:
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina;
2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah:
a) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan;
b) Unifikasi kejaksaan;
c) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan;
d) Pembentukan lembaga pendidikan hukum;
e) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
1. Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan;
2. Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
a) Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
b) Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah: 1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.

PENUTUP :
Dari permasalahan diatas dapat kita lihat bahwa hukum di Indonesia mempunyai perjalanan yang sangat panjang. Jadi kita harus taat terhadap hukum agar di Indonesia ini agar dapat menjadi Negara yang tentram dan damai dalam berbangsa. Dan tak lepas dari hukum kita juga harus mematuhi peraturan yang telah di terapkan oleh pemerintah.

NAMA : LESTARI DWI JAYANTI
KELAS : 2 EB 19
NPM : 24210004

REFERENSI :
http://images.flowst.multiply.multiplycontent.com/.../...

PENGAKUAN HUKUM UNTUK HAK MILIK (HAK KEBENDAAN)

PENDAHULUAN
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia senantiasa mengadakan hubungan-hubungan hukum seperti mengadakan transaksi-transaksi ataupun perjanjian-perjanjian yang bertujuan untuk memperoleh sesuatu barang. Dalam pandangan hukum barang atau benda dapat dikategorikan atas barang atau benda bergerak, barang atau benda tidak bergerak dan barang atau benda tak bertubuh atau tak berwujud. Dalam mengadakan transaksi atau perjanjian yang bertujuan untuk memperoleh sesuatu barang atau benda tersebut sudah seogianya haruslah dibuat sesuai dengan hukum agar perbuatan tersebut sah secara hukum sehingga perolehan dan kepemilikan atas barang atau benda itu sah menurut hukum.
Dalam perjanjian yang bermaksud untuk memperoleh sesuatu barang atau benda tersebut akan diikuti dengan perbuatan berupa menyerahkan dan menerima atas sesuatu barang atau benda di antara kedua belah pihak perbuatan mana dalam hukum disebut penyerahan atau levering.
PERMASALAHAN
Hukum Benda adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak atas benda. Asasnya adalah asas yang membagi benda atau barang ke dalam benda bergerak dan benda tetap.
Asas Hukum Tentang Benda
Asas yang membagi hak manusia kedalam hak kebendaan dan hak perorangan.
Hak Kebendaan, adalah hak untuk menguasai secara langsung suatu kebendaan dan kekuasaan tersebut dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan). Hak Perorangan, adalah hak seseorang untuk menuntut suatu tagihan kepada seseorang tertentu. Dalam hal ini hanya orang ini saja yang harus mengakui hak orang tersebut
Asas hak milik itu adalah suatu fungsi sosial. Asas ini mempunyai arti bahwa orang tidak dibenarkan untuk membiarkan atau menggunakan hak miliknya secara merugikan orang atau masyarakat. Jika merugikan akan dituntut berdasarkan Ps 1365 KUHS

Hukum Benda yang mengatur tentang tanah telah dicabut dan diatur dalam UNDANG-UNDANG Pokok Agraria tahun 1960 No 5. Namun aturan tentang Hipotik masih diatur dalam Hukum Benda. Hukum Benda ini sifatnya tertutup, jadi tidak ada peraturan lain yang berkaitan dengan benda selain yang diatur oleh Undang-Undang.
Tentang Perikatan
Dalam Ps 1233 KUHS ditetapkan bahwa Perikatan dilahirkan baik karena Undang-Undang dan karena Persetujuan.
Perikatan yang timbul karena Undang-Undang :
Perikatan yang lahir dari Undang-Undang saja
Alimentasi (Ps 231 KUHS), yaitu kewajiban setiap anak untuk memberikan nafkah hidup kepada orang tuanya dan para keluarga sedarah dalam garis keatas apabila mereka dalam keadaan miskin.
Perikatan yang lahir dari Undang-Undang karebna perbuatan orang yang diperbolehkan maupun karena perbuatan orang yang melanggar hukum.
Zaakwaarneming (Ps 1354 KUHS) perbuatan orang yang dilakukan dengan sukarela tanpa diminta tanpa disuruh, memelihara kepentingan atau barang orang lain. Maka timbul hubungan hukum antara pemilik barang dengan pemelihara barang.
Perikatan yang timbul karena Persetujuaan atau Perjanjian :
Perikatan alamiah, perikatan yang harus dilaksanakan tetapi tidak disertai dengan sanksi gugatan, kalau debitur tidak memenuhi kewajibannya.
Perikatan karena perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang dimaksud dengan Ps 1365 KUHS dan Drukkearrest HR tanggal 31 Januari 1919, yang terdiri dari :
Perbuatan yang melanggar hak orang lain.
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang bersangkutan.
Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai nama baik atau barang orang lain.
Bagi orang yang melanggar akan dikenakan kewajiban untuk memberi ganti rugi kepada pihak yang merasa dirugikan. Ada beberapa macam ganti rugi :
Kosten adalah segala biaya dan ongkos yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan oleh korban.
Schade adalah kerugian yang diderita oleh si korban sebagai akibat langsung dari perbuatan yang melanggar hukum itu.
Interessen adalah bunga uang dari keuntungan yang tidak jadi diterima sebagai akibat langsung dari perbuatan yang melanggar hukum itu.
Syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti rugi :
Perbuatan atau sikap diam harus melanggar hukum, ada peraturan hukum yang dilanggar oleh perbuatan atau sikap diam dari orang yang bersangkutan.
Harus ada kerugian (Schade) antara perbuatan dan kerugian harus ada hubungan sebab akibat, penggantia kerugian hanya dapat diminta oleh orang yang menderita kerugian dan harus dapat membuktikannya.
Harus ada kesalahan orang atau si pelaku haris dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan kesalahan yang dilakukan itu bukanlah keadaan terpaksa, keadaan darurat, kesalahan itu karena kesengajaan dan kelalaian.
Asas Hukum Perikatan
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya
Asas kebebasan dalam membuat perjanjian atau persetujuan
Asas bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikat baik
Asas bahwa semua harta kekayaan seseorang menjadi jaminan atau tanggungan semua hutang-hutangnya.
Asas Actio Pauliana yaitu aksi yang dilakukan oleh seorang kreditur untuk membatalkan semua perjanjian yang dibuat oleh debiturnya dengan itikat buruk dengan pihak ketiga, dengan pengetahuan bahwa ia merugikan krediturnya. Pembatalan perjanjian harus dilakukan oleh hakim atas permohonan kreditur (Ps 1341 KUHS)
Asas ini memberi peringatan kepada seorang debitur bahwa ia akan dikenakan sanksi penuntutan, bila ia mengurangi harta kekayaan miliknya, dengan tujuan untuk menghindari penyitaan dari pengadilan.
Pembagian Perjanjian yang berlaku di Indonesia :
a. Perjanjian Jual Beli ditetapkan dakan KUH Perdata
b. Perjanjian Asuransi (Pertanggungan) yang penting bagi soal-soal perdata ditetapkan dalam KUH Dagang
c. Perjanjian Persrikatan (Ps. 1618 KUH Perdata)
d. Pengertian yang paling luas dari perkataan “Benda” (Zaak) ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang.
Tentang hak-hak kebendaan :
a. Bezit : Ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olahkepunyaan sendiri, yang ole hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.
b. Eigendom :Ialah hak yang paling sempurna atas suatu benda seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan,, bahkan merusak)
c. Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain : Ialah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan.
d. Pand dan Hypotheek : Ialah hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
e. Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (privilage): Ialah suatu keadaan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarka sifat piutang.
f. Hak reklame : Ialah hak penjual untuk meminta kembali barang yang telah dijualnya apabila pembeli tidak melunasi pembayarannya dalam jangka waktu 30 hari.
PENUTUP :
Dari sini saya simpulkan bahwa hak kepemilikn hukum di atur sedemikan rupa oleh perintah. Yang mana di tuliskan di Pasal 1365 KUHS, tentang hak kepemilikan / hak kebendaan / hak eigendom.

NAMA : LESTARI DWI JAYANTI
KELAS : 2 EB 19
NPM : 24210004

REFERENSI :
ASPEK HUKUM DALAM BISNIS ( NELTJE F.KATUUK)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27316/4/Chapter%20I.pdf
http://bolmerhutasoit.wordpress.com/tag/hak-kebendaan/
http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-perdata/

PELANGGARAN ETIKA DALAM BIDANG BISNIS

PENDAHULUAN
Salah satu aspek yang sangat populer dan perlu mendapat perhatian dalam dunia bisnis ini adalah norma dan etika bisnis. Etika bisnis selain dapat menjamin kepercayaan dan loyalitas dari semua unsur yang berpengaruh pada perusahaan, juga sangat menentukan maju atau mundurnya perusahaan.

PERMASALAHAN
Dalam berbisnis bukan hanya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, tapi ada yang lebih penting yaitu kita harus mempertahankan bisnis supaya tetap berjalan lancar, salah satunya menjaga hubungan dengan relasi bisnis supaya bisnis tidak terputus, yaitu dengan cara bersikap jujur, tidak mendzolimi, dan tidak melakukan penipuan.Apa yang terjadi ketika ada yang melanggar etika bisnis? dampaknya adalah ketidak percayaan dari relasi bisnis atau konsumen sehingga akan mematikan bisnis itu sendiri.Berikut ini contoh beberapa pelanggaran etika berbinis :
Contoh Pelanggaran etika bisnis
Sebuah perusahaan P karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
a) SEBAB/ANALISA: Dalam kasus ini perusahaan P dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan terhadap hukum, karena perusahaan tersebut melakukan pemecatan sesukanya tanpa memberikan pesanggon. Jadi, kasus diatas pelanggaran etika bisnis terhadap hukum.
b) SARAN: Sebaiknya semua perusaahan harus dikenakan sanksi apabila melanggar atau memperlakukan karyawannya secara seenaknya, karena semua sudah diatur didalam undang-undang agar perusahaan tersebut kapok dan tidak melakukan perbuatannya lagi.
Etika, pada dasarnya adalah suatu komitmen untuk melakukan apa yang benar dan menghindari apa yang tidak benar. Oleh karena itu, perilaku etika berperan melakukan ‘apa yang benar’ dan ‘baik’ untuk menentang apa yang ‘salah’ dan ‘buruk’. Etika bisnis sangat penting untuk mempertahankan loyalitas pemilik kepentingan dalam membuat keputusan dan memecahkan persoalan perusahaan. Mengapa demikian? Karena semua keputusan perusahaan sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pemilik kepentingan. Pemilik kepentingan adalah semua individu atau kelompok yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap keputusan perusahaan. Ada dua jenis pemilik kepentingan yang berpengaruh terhadap perusahaan, yaitu pemilik kepentingan internal dan eksternal. Investor, karyawan, manajemen, dan pimpinan perusahaan merupakan pemilik kepentingan internal, sedangkan pelanggan, asosiasi dagang, kreditor, pemasok, pemerintah, masyarakat umum, kelompok khusus yang berkepentingan terhadap perusahaan merupakan pemilik kepentingan eksternal. Pihak-pihak ini sangat menentukan keputusan dan keberhasilan perusahaan. Yang termasuk kelompok pemilik kepentingan yang memengaruhi keputusan bisnis adalah:
1. Para pengusaha/mitra usaha,
2. Petani dan pemasok bahan baku,
3. Organisasi pekerja,
4. Pemerintah,
5. Bank,
6. Investor,
7. Masyarakat umum, serta
8. Pelanggan dan konsumen.
Selain kelompok-kelompok tersebut di atas, beberapa kelompok lain yang berperan dalam perusahaan adalah para pemilik kepentingan kunci (key stakeholders) seperti manajer, direktur, dan kelompok khusus.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa loyalitas pemilik kepentingan sangat tergantung pada kepuasan yang mereka peroleh.. Oleh karena loyalitas dapat mendorong deferensiasi, maka loyalitas pemilik kepentingan akan menjadi hambatan bagi para pesaing.” Ingat bahwa diferensiasi merupakan bagian dari strategi generik untuk memenangkan persaingan .
Selain etika dan perilaku, yang tidak kalah penting dalam bisnis adalah norma etika. Ada tiga tingkatan norma etika, yaitu:
a. Hukum, berlaku bagi masyarakat secara umum yang mengatur perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Hukum hanya mengatur standar perilaku minimum.
b. Kebijakan dan prosedur organisasi, memberi arahan khusus bagi setiap orang dalam organisasi dalam mengambil keputusan sehari-hari. Para karyawan akan bekerja sesuai dengan kebijakan dan prosedur perusahaan/organisasi.
c. Moral sikap mental individual, sangat penting untuk menghadapi suatu keputusan yang tidak diatur oleh aturan formal. Nilai moral dan sikap mental individual biasanya berasal dari keluarga, agama, dan sekolah. Sebagaiman lain yang menentukan etika perilaku adalah pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Kebijakan dan aturan perusahaan sangat penting terutama untuk membantu, mengurangi, dan mempertinggi pemahaman tentang etika perilaku.
Siapakah pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika dalam perusahaan? Pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika adalah manajer. Oleh karena itu, ada tiga tipe manajer dilihat dari sudut etikanya, yaitu:
1. Manajemen Tidak bermoral. Manajemen tidak bermoral didorong oleh kepentingan dirinya sendiri, demi keuntungan sendiri atau perusahaan. Kekuatan yang menggerakkan manajemen immoral adalah kerakusan/ketamakan, yaitu berupa prestasi organisasi atau keberhasilan personal. Manajemen tidak bermoral merupakan kutub yang berlawanan dengan manajemen etika. Misalnya, pengusaha yang menggaji karyawannya dengan gaji di bawah upah minimum atau perusahaan yang meniru produk-produk perusahaan lain, atau perusahaan percetakan yang memperbanyak cetakannya melebihi kesepakatan dengan pemegang hak cipta, dan sebagainya (Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, Entrepreneurship and The New Ventura Formation, 1996, hal. 21).
2. Manajemen Amoral. Tujuan utama dari manajemen amoral adalah laba, akan tetapi tindakannya berbeda dengan manajemen immoral. Ada satu cara kunci yang membedakannya, yaitu mereka tidak dengan sengaja melanggar hukum atau norma etika. Yang terjadi pada manajemen amoral adalah bebas kendali dalam mengambil keputusan, artinya mereka tidak mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan. Salah satu conoth dari manajemen amoral adalah penggunaan uji kejujuran detektor bagi calon karyawan.
3. Manajemen Bermoral. Manajemen bermoral juga bertujuan untuk meraih keberhasilan, tetapi dengan menggunakan aspek legal dan prinsip-prinsip etika. Filosofi manajer bermoral selalu melihat hukum sebagai standar minimum untuk beretika dalam perilaku.

PENUTUP
Etika bisnis di sini sangat penting karena dapat menguntungkan berbagai pihak, baik perusahaan itu sendiri, karyawan, dan yang bersangkutan dengan perusahaan tersebut. Dan juga memberikan kepuasan kepada yang bersangkutan dengan perusahaan tersebut. Dan dapat mengatur persaingan antara perusahaan yang satu dengan yang lain.

NAMA : LESTARI DWI JAYANTI
KELAS : 2 EB 19
NPM : 24210004

REFERENSI :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/etika-dan-profesionalisme-tsi-di-bidang-bisnis/
http://fe.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=20

SIAPA YANG MENENTUKAN KEHALALAN DARI ASPEK HUKUM?

PENDAHULUAN
Teknologi dan pengetahuan manusia di bidang pangan berkembang semakin canggih. Perkembangan teknologi bidang pangan tersebut juga berdampak pada kepercayaan konsumen, khususnya yang beragama Islam, di mana penentuan halal atau haramnya makanan menjadi lebih sulit ditentukan. Untuk itu memang dibutuhkan regulasi yang mengatur tentang hal tersebut. Negara mengakomodasi kepentingan tersebut dengan menerbitkan berbagai regulasi, yang oleh penulis menyebutnya sebagai regulasi sertifikasi produk halal. Namun keberadaan regulasi belum tentu diterima dengan baik oleh masyarakat, khususnya pengusaha kecil di bidang pangan dalam kemasan, atau dengan kata lain regulasi tersebut menjadi living law.

PERMASALAHAN

Bagaimana Pengaturan Sertifikasi Halal bagi Produk Makanan?
Bagi orang muslim ketentuan mengenai informasi halal tidaknya suatu produk merupakan hal yang penting, karena menyangkut pelaksanaan syariat. Maka baiknyalah bilamana di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim dapat terjamin haknya untuk mengetahui halal tidaknya suatu produk. Menyangkut UUPK, apakah dimungkinkan bila sertifikat halal atau pemberian informasi tentang produk dapat disebutkan atau dijelaskan "halal tidaknya" produk tersebut?
Terkait dengan kehalalan suatu produk, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) telah memberikan perlindungan bagi umat Muslim. Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf h UUPK diatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.
Karena keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam, pemerintah mengatur mengenai label produk halal melalui UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan (“UU 7/1996”) dan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (“PP 69/1999”). Pasal 30 UU 7/1996 menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Dan label tersebut setidaknya harus mencantumkan keterangan halal.
Selanjutnya, lebih spesifik diatur dalam Pasal 10 PP 69/1999 mengenai kewajiban produsen produk pangan untuk mencantumkan label halal pada makanan yang dikemas sebagai berikut:
Pasal 10 ayat (1)
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.
Penjelasan Pasal 10 ayat (1)
Pencantuman keterangan halal atau tulisan "halal" pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.
Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.
Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari mengonsumsi pangan yang tidak halal (haram).
Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.
Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP 69/1999 diancam dengan tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (2) yaitu;
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran;
c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan atau
f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan tentang label dan iklan produk pangan dilaksanakan Menteri Kesehatan (lihat Pasal 59 PP 69/1999).
Sebagai pelaksanaan dari PP 69/1999, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001. Menteri Agama kemudian menunjuk Majelis Ulama Indonesia (“MUI”) sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 519 Tahun 2001 (“Kepmenag 519/2001”).Selanjutnya, Menteri Agama menunjuk Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) sebagai pelaksana pencetakan label halal untuk ditempelkan pada setiap kemasan pangan halal yang akan diperdagangkan di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 525 Tahun 2001.
Dalam Pasal 2 Kepmenag 519/2001 disebutkan bahwa pemeriksaan pangan yang dilakukan MUI meliputi;
a. pemeriksaan dan/atau verifikasi data pemohon;
b. pemeriksaan proses produksi;
c. pemeriksaan laboratorium;
d. pemeriksaan pengepakan, pengemasan dan pemyimpanan produk;
e. pemeriksaan sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian;
f. pemrosesan dan penetapan Sertifikasi Halal.
Selain itu, saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Selengkapnya, silahkan simak artikel-artikel berikut:
1. RUU JPH: Pemerintah Tetap Andalkan MUI
2. Ketentuan Sertifikasi Produk Halal Tetap Tercantum dalam RUU JPH
3. RUU Jaminan Produk Halal: MUI Tidak Ingin Kehilangan Otoritas
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
3. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
4. Keputusan Menteri Agama Nomor 518/2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 519/2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal
6. Keputusan Menteri Agama Nomor 525/2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakkan Uang RI sebagai Pelaksana Percetakkan Label Halal

PENUTUP
Di sini dapat kita simpulkan bahwa yang menetapkan kehalalan di Indonesia adalah Majelis Ulama Indonesia, mereka yang di beri kepercayaan oleh pemerintah untuk menentukan kehalalan suatu produk makanan. Dalam menentukan kehalalan suatu produk makanan dapat di lihat dari sertifikat yang di berikat oleh majelis ulama Indonesia.

NAMA : LESTARI DWI JAYANTI
KELAS : 2 EB 19
NMP : 242100O4

REFERENSI
http://hukumonline.com/klinik/detail/cl3808
http://eprints.undip.ac.id/23888/1/Iwan_Zainul_Fuad.pdf

ASPEK TULISAN HALAL DARI SEGI HUKUM

PENDAHULUAN
Halal (حلال, halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll). Di Indonesia, sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia–secara spesifik Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Lawan dari halal adalah haram.
PERMASALAHAN
Keuntungan Sertifikasi Halal
Bagi konsumen, terutama konsumen muslim, keuntungan dari sertifikat halal sudah jelas: mengetahui sebuah produk telah bersertifikat halal berarti keamanan dan ketenangan batin dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk tersebut. Konsumen mendapat kepastian dan jaminan bahwa produk tersebut tidak mengandung sesuatu yang tidak halal dan juga diproduksi dengan cara yang halal. Sertifikat halal memberikan keuntungan bagi semua konsumen, tidak hanya konsumen muslim saja, karena halal tidak saja berarti kandungannya halal namun juga diproses dengan cara yang ber-etika, sehat dan baik.
Lalu apa keuntungan bagi produsen apabila produknya telah bersertifikat halal? Halal itu baik untuk bisnis juga. Ini adalah salah satu bentuk kewajiban sosial dan dapat meningkatkan kepercayaan dan loyalitas konsumen. Sertifikat halal membuka peluang eksport yang luas dan karena sertifikasi halal bukanlah kewajiban, produk yang telah bersertifikat halal memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan perusahaan pangan lainnya.
Sertifikasi halal diperlukan untuk memproduksi produk-produk untuk konsumen produk halal yang saat ini mencakup konsumen muslim dan juga non-muslim yang ingin menjaga kesehatannya dengan menjaga makanannya. Saat ini terdapat 1,4 milyar penduduk muslim dan jutaan konsumen non-muslim lainnya yang memilih untuk mengkonsumsi produk halal. Dengan mensertifikasi kehalalan produk, produk tersebut mendapat kesempatan untuk menembus pasar pangan halal yang diperkirakan bernilai sekitar 150 hingga 500 milyar USD.
Logo halal merupakan tiket diterimanya produk dalam komunitas konsumen halal di seluruh dunia.
Secara singkat, keuntungan memperoleh sertifikat halal adalah:
1. Kesempatan untuk meraih pasar pangan halal global yang diperkirakan sebanyak 1,4 milyar muslim dan jutaan non-muslim lainnya.
2. Sertifikasi Halal adalah jaminan yang dapat dipercaya untuk mendukung klaim pangan halal.
3. 100% keuntungan dari market share yang lebih besar: tanpa kerugian dari pasar/klien non-muslim.
4. Meningkatkan marketability produk di pasar/negara muslim.
5. Investasi berbiaya murah dibandingkan dengan pertumbuhan revenue yang dapat dicapai.
6. Peningkatan citra produk.
Maka sekarang pastikan ada label halal pada kemasan makanan atau minuman yang akan dikonsumsi agar lebih aman dan mutawarik dalam menunaikan agama.
Logo Halal Pada Kemasan Produk Makanan
Merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim untuk berhati hati dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Ini tidak lain dikarenakan makanan yang akan masuk dalam perut kita akan menjadi pengganti sel-sel organ tubuh yang nantinya akan kita gunakan untuk beribadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa efek dari makanan akan memengaruhi diterimanya suatu ibadah, salah satu contoh adalah Doa. Dalam sebuah hadits Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan seorang musafir yang berbekal makanan haram.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }
وَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali dari yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan apa yang diperintahkan pula kepada para rasul, firman-Nya, ‘Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah dengan amalan shalih, sesungguhnya aku mengetahui apa yang kalian kerjakan.’ Dan Firman-Nya, ‘ wahai orang–orang yang beriman, makanlah dari hal yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian.’ Kemudian Rasulullah menceritakan seorang laki-laki yang bersafar jauh hingga acak-acakan rambutnya dan berdebu, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Ya Rabb… Ya Rabb… namun makanannya haram, minumannya haram, bajunya juga haram, serta diberi gizi haram, maka mana mungkin dijawab doanya?!’” (Riwayat Muslim no.1015)
Bisa dibayangkan, betapa meruginya seorang muslim jika ia tidak dapat menikmati hasil dari ibadahnya dikarenakan mengonsumsi makanan haram.
Seperti diketahui, aneka produk makanan yang beredar di pasaran baik impor maupun hasil lokal dengan beragam bentuk dan kemasan terkadang membingungkan masyarakat yang nota bene muslim ini untuk menyeleksi kehalalannya. Melihat realita di atas, produsen pun tidak tinggal diam untuk mendongkrak pemasaran mereka agar dapat dijual ke konsumen muslim, yang diantaranya adalah dengan mencantumkan label halal pada setiap produk makanan.
Seberapa Pentingkah Sertifikat halal?
Halal atau haramnya makanan sebenarnya merupakan perkara yang jelas dalam agama Islam, sehingga kebanyakan kaum muslimin mengetahui jenis makanan yang haram untuk dikonsumsi, hal tersebut telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits,
إِنَّ اْلحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اْلحَرَامَ بَيِّنٌ
“Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu jelas …” (Riwayat Bukhari, No.2051 Muslim, No.1599)
Namun bagaimana jika makanan tersebut telah dikemas sedemikian rupa dengan komposisi dari berbagai bahan? Tentu banyak dari kita tidak tahu tentang kandungan yang ada di dalamnya. Melihat fenomena ini maka bermunculan ide dari kaum muslimin untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut.
Maka, muncullah ide pencantuman logo halal pada produk yang telah terdaftar halal pada lembaga yang diakui, yang kita kenal sekarang dengan Sertifikat Halal LPPOM MUI. Dengan demikian, setiap produk yang ingin mendapat sertifikat halal, mereka harus mengikuti proses menurut standar yang telah ditetapkan oleh lembaga tersebut. Selanjutnya lembaga ini memiliki auditor untuk melaksanakan audit halal, dari para ahli di bidang pangan, kimia, pertanian, biologi, fisika, hingga bidang kedokteran hewan, yang konon mereka dipilih melalui proses seleksi kompetensi, kualitas dan integritas, sebelum mereka ditugaskan.
Jika kita tinjau dari usaha tersebut dan dari segi maslahat dan mafsadah, maka bisa kita kategorikan bahwa logo halal MUI ini sangat penting, karena ini merupakan salah satu sarana dalam melindungi konsumen muslim dari semua jenis makanan haram yang beredar di masyarakat. Dengan demikian, setiap produsen tidak bisa seenaknya sendiri mencantumkan logo halal pada produk mereka, karena untuk mendapatkan kepercayaan halal ini mereka akan mendaftarkan dulu produknya demi mendapatkan memo halal dari lembaga ini dengan proses menurut standar mereka.
Bagaimana kita bersikap?
Melihat logo halal MUI dalam kemasan makanan adalah cara termudah bagi orang awam dalam memilih makanan kemasan. Akan tetapi seberapa besar keabsahan sertifikat tersebut?
Untuk itu kita kembalikan perkara ini kepada kaidah umum fikih yaitu tentang persaksian (syahadah), yaitu kesaksian dua orang laki-laki yang adil dalam syariat adalah sah menurut hukum. Dan tentunya mereka yang menjadi tim halal MUI ini lebih dari sekadar dua orang dan terlebih lagi mereka adalah pakar dalam bidang pangan. Apalagi, MUI adalah lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat untuk sertifikat tersebut. Atas dasar ini, a logo tersebut dapat kita jadikan sarana dalam membantu memilih makanan halal pada produk kemasan.
Namun, bagaimana jika ada isu haram dalam beberapa produk yang berlabel halal ini (contohnya, adanya kode E471/E472 yang diisukan mengandung lemak babi dalam beberapa produk makanan yang berlogo halal -red)? Tentu kita sebagai seorang muslim akan mengembalikan hal tersebut dengan cara bersikap bijak sebagaimana tuntunan Allah Ta’ala dalam Al Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6)
Kita perlu tabayyun (konfirmasi) dan berusaha mencari kebenaran berita tersebut, agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Sebab, hukum asal dari segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah halal kecuali yang diharamkan, sebagaimana sebuah kaidah fikih mengatakan,
الأَصْلُ فِيْ اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةٌ حَتَى يَدُلَّ اْلدَلِيْلُ عَلَى اْلتَحْرِيْمِ
“Asal segala sesuatu adalah halal, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Akan tetapi, cara berhati-hati adalah jalan terbaik dalam hal duniawi, yaitu wara’ dari makanan tersebut, sampai ditemukan kejelasan berita yang ada. Adapun arti wara’ menurut Syekh Ibnu Utsaimin dalam “Fathu Dzil Jalali wal Ikram Syarah Bulugul Maram” pada Muqadimah Kitab Zuhud wal Wara’ adalah:
الوَرَعُ : تَرْكُ مَا يَضُرُّ فِي اْلآخِرَةِ
“Meninggalkan sesuatu yang membahayakan urusan akhirat.”
Jadi, ikhthiyat (hati-hati) dan wara’ bukan sebagai dasar pengharaman, namun keduanya adalah sebagai kewaspadaan belaka.
Dan perlu ditegaskan, hal tersebut (ikhthiyat dan wara’ -red) tidak mengurangi legalitas sertifikat halal yang telah kita ketahui begitu besar manfaatnya. Dan didukung juga bahwa sertifikat tersebut dikeluarkan setelah adanya proses dari pakar makanan yang ahli dalam bidangnya. Karena untuk mengetahui kandungan kimia bahan makanan dalam kemasan adalah perkara yang tidak gampang, dan ini adalah perkara yang dikategorikan masalah ketrampilan duniawi, sedangkan Rasulullah telah menyerahkan perkara-perkara duniawi kepada orang yang memiliki keahlian tersebut, Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ ».
“Kalian lebih faham dengan perkara dunia kalian.” (Riwaya Muslim No. 6277)
Sehingga, logo halal ini tetap kita jadikan sebagai sarana untuk memilih makanan halal. Wallahu A’lam Bisshawab.
PENUTUP :
Di sini dapat kita simpulkan bahwa tulisan halal sangatlah penting karena di dalam hukum islam memakan makan haram sangatlah di larang. Di samping itu mayoritas rakyat Indonesia beragama islam, jadi bagi bangsa Indonesia sangatlah penting logo halal bagi rakyat Indonesia.

NAMA : LESTARI DWI JAYANTI
KELAS : 2 EB 19
NPM : 24210004
REFERENSI :
http://id.wikipedia.org/wiki/Halal
http://ldiibangkalan.com/?p=400

HUKUM DI INDONESIA

Menurut saya hukum di indonesia sudah sangat buruk, karena dari penegak hukumnya saja mau untuk disuap . hal ini saja sudah menbuktikan bahwa hukum di indonesia sudah curat marut. Dari akarnya saja sudah salah , ini juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan bangsa karena mereka member contoh yang tidak baik bagi penerus bangsa ini.
Jika saya lihat hukum di Indonesia rakyat kecil semakin tertindas sedangkan orang berkuasa semakin berkuasa. Disini mulai terjadi ketidak adialan bagi rakyat Indonesia sendiri.
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.
Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam kontek penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah tidak tercapai.
Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum gagal dalam pelaksanaannya.
Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.
Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.

NAMA : LESTARI DWI JAYANTI
NPM : 24210004
KELAS : 2 EB 19

REFERENSI :
http://anggara.org/2007/01/23/carut-marut-dunia-hukum-di-indonesia/

SUBYEK DAN OBYEK HUKUM

SUBYEK HUKUM

Subyek Hukum Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum. Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum atausegala pendukung hak dan kewajiban menurut hukum. Setiap manusia, baik warga negara maupun orang asing adalah subjek hukum. Jadi dapat dikatakan, bahwa setiap manusia adalah subjek hukum sejak is dilahirkan sampai meninggal dunia. Sebagai subjek hukum, manusia mempunyai hak dan kewajiban. Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya, akan tetapi dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu. Mereka digolongkan sebagai orang yang “tidak cakap” atau “kurang cakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
• Manusia (naturlife persoon)Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secaraalami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagaihak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalamkandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yangmenghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukumyang “tidak cakap” hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1330, mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:
1. Orang yang belum dewasa.
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), seperti orang yang dungu, sakit ingatan, danorang boros.
3. Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).
Selain manusia sebagai subjek hukum, di dalam hukum terdapat pula badan-badan atau perkumpulan- perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum sepertilayaknya seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaansendiri, ikut serta dalam lalu-lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka hakim.Badan hukum sebagai subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Badan hukum publik, seperti negara, propinsi, dan kabupaten.
2. Badan hukum perdata, seperti perseroan terbatas (PT), yayasan, dan koperasi.

• Badan Hukum (recht persoon)Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” olehhukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukumsebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepasdari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.

OBJEK HUKUM

Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatuyang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUH Perdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapatdikuasai oleh hak milik.
Dalam bahasa hukum, objek hukum dapat juga disebut hak atau benda yang dapat dikuasai dan / atau dimiliki subyek hukum.Misalnya, Andi meminjamkan buku kepada Budi. Di sini, yang menjadi objek hukum dalam hubungan hukum antara Andi dan Budi adalah buku. Buku menjadi objek hukum dari hak yang dimiliki Andi. Objek hukum dapat berupa benda, baik benda yang bergerak, (misalnya mobil dan hewan) maupun benda tidak bergerak (misalnya tanah dan bangunan). Di samping itu, objek hukum dapat berupa benda berwujud (misalnya tanah, bangunan, dan mobil) maupun benda tidak berwujud (misalnya hak cipta, hak merek, dan hak paten).
Benda itu sendiri dibagi menjadi :
1. Berwujud / Konkrita. Benda bergerak - bergerak sendiri, contoh : hewan.- digerakkan, contoh : kendaraan. Benda tak bergerak, contoh tanah, pohon-pohon dsb.
2. Tidak Berwujud/ Abstrak contoh gas, pulsa dsb.

NAMA : Lestari Dwi Jayanti
NPM : 24210004
KELAS : 2 EB 19


REFERENSI :
http://www.scribd.com/doc/75731023/Subyek-Dan-Obyek-Hukum
aspek hukum dalam bisnis ( NELTJE F. KATUK)

Kaidah dan Norma Hukum di Indonesia

Dalam sistem hukum Barat yang berasal dari hukum Romawi itu, dikenal tiga norma atau kaidah yakni (1) Impere (perintah), (2) Prohibere (larangan), dan (3) Permittere (yang dibolehkan). Dalam sistem hukum Islam ada lima macam kaidah atau norma hukum yang dirangkum dalam istilah al-ahkam al-khamsah. Kelima kaidah itu adalah (1) Fard (kewajiban), (2) sunnat (anjuran), (3) ja’iz atau mubah ibahah (kebolehan ), (4) makruh (celaan) dan (5) haram (larangan).
Demikianlah dalam garis-garis besarnya telah dibandingkan ketiga system hukum yang berlaku sekarang ditanah air kita.
Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang, ketiga sistem hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Ketiga-tiganya telah saling pengaruh mempengaruhi dalam konsep dan pengertian. Berbagai konsep dan pengertian yang berasal dari hukum Islam dan hukum Barat telah ditafsirkan menurut perasaan dan kesadaran hukum yang terdapat dalam hukum adat. Karena itu, ketiga sistem hukum tersebut perlu dipelajari dengan seksama, khususnya tentang hukum Islam dan hukum adat yang berlaku ditanah air kita.
Pengertian Kaidah Hukum
Kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan. Kaidah hukum ditujukan kepada sikap lahir manusia atau perbuatan nyata yang dilakukan manusia. Kaidah hukum tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk, yang diperhatikannya adalah bagaimana perbuatan lahiriyah orang itu. Coba kita pikirkan contoh berikut, ada seorang pria menikahi seorang wanita dengan sah sesuai dengan aturan agama dan negara tetapi sebenarnya didalam hatinya ada niat buruk untuk menguras harta kekayaan si pihak wanita dan lain – lain. Dari contoh tersebut secara lahiriyah sesuai dengan kaidah hukum karena dia menikahi dengan jalur tidak melanggar hukum tapi sebenarnya batin pria tersebut adalah buruk.
Karena ada kaidah hukum maka hukum dapat dipandang sebagai kaidah. Hukum sebagai kaidah adalah sebagai pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Pada konteks ini masyarakat memandang bahwa hukum merupakan patokan-patokan atau pedoman-pedoman yang harus mereka lakukan atau tidak boleh mereka lakukan. Pada makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus mereka patuhi bisa dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Kebiasaan yang sudah lumrah dipatuhi dalam suatu masyarakat pun meskipun tidak secara resmi dituliskan, namun selama ia diikuti dan dipatuhi dan apabila yang mencoba melanggarnya akan mendapat sanksi, maka kebiasaan masyarakat ini pun dianggap sebagai hukum.
Menurut sifatnya kaidah hukum terbagi 2, yaitu :
1. hukum yang imperatif, maksudnya kaidah hukum itu bersifat a priori harus ditaati, bersifat mengikat dan memaksa.
2. hukum yang fakultatif, maksudnya ialah hukum itu tidak secara a priori mengikat. Kaidah fakultatif bersifat sebagai pelengkap.
Pengertian Norma Hukum
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
Proses Terbentuknya Norma Hukum
Dalam bermasyarakat, walaupun telah ada norma untuk menjaga keseimbangan, namun norma sebagai pedomanperilaku kerap dilanggar atau tidak diikuti. Karena itu dibuatlah norma hukum sebagai peraturan/ kesepakatan tertulis yang memiliki sanksi dan alat penegaknya.
Ada 4 macam norma yaitu :
1. Norma Agama adalah peraturan hidup yang berisi pengertian-pengertian, perintah-perintah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran yang berasal dari Tuhan yang merupakan tuntunan hidup ke arah atau jalan yang benar.
2. Norma Kesusilaan adalah peraturan hidup yang dianggap sebagai suara hati. Peraturan ini berisi suara batin yang diakui oleh sebagian orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
3. Norma Kesopanan adalah peraturan hidup yang muncul dari hubungan sosial antar individu. Tiap golongan masyarakat tertentu dapat menetapkan peraturan tertentu mengenai kesopanan.
4. Norma Hukum adalah peraturan-peraturan hidup yang diakui oleh negara dan harus dilaksanakan di tiap-tiap daerah dalam negara tersebut. Dapat diartikan bahwa norma hukum ini mengikat tiap warganegara dalam wilayah negara tersebut

NAMA : LESTARI DWI JAYANTI
NPM : 24210004
KELAS : 2 EB 19
GUNADARMA UNIVERSITY


REFERENSI :
ASPEK HUKUM DALAM BISNIS. (Neljtje F. Katuk)
http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_hukum
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/kaidahnorma-hukum/